Penyalahgunaan
media sosial memang marak terjadi. Sebuah aplikasi yang seharusnya
digunakan untuk berbagi informasi dan hal-hal
yang bermanfaat tetapi malah digunakan untuk tujuan yang negatif. Seseorang
yang membagikan informasi atau hal lain maka informasi tersebut akan diterima
atau dikonsumsi banyak orang dari berbagai usia, sehingga pengguna media sosial
harus bijak dan memikirkan kembali apa yang akan dibagikan. Tetapi kenyataannya,
para pengguna media sosial kurang memerhatikan etika dalam menggunakan media
sosial. Hal ini telah dibuktikan dengan adanya sebuah fenomena yaitu media
sosial digunakan untuk menyebarkan berita-berita palsu, bullying, komentar jahat, tempat memaki atau marah-marah, berbagi
hal-hal tidak senonoh, dan lain-lain.
Sebagai contoh, seseorang yang sedang membenci orang
lain, maka dia akan melampiaskan kebenciannya di media sosial. Hal tersebut
akan memunculkan komentar atau respon bermacam-macam, baik dari pihak yang
bersangkutan atau pihak yang tidak memiliki masalah. Mereka akan memberikan
komentar buruknya (bagi yang bersangkutan), sehingga mereka akan saling
menjelek-jelekkan. Pihak yang dibenci tidak mau dijatuhkan dalam media sosial
sehingga pihak yang dibenci tersebut akan memberikan kata-kata kasar dalam
komentar pada pengguna akun yang menyinggungnya.
Media sosial yang digunakan atas nama kita sendiri
bukan berarti bisa digunakan tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Mengumpat
dengan mengeluarkan kata-kata kasar melalui status di media sosial akan
mengganggu pengguna lain. Selain itu, menyebarkan isu di media sosial yang
menyebabkan konflik SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) juga dilarang
hukum. Membagikan gambar atau informasi yang mengandung SARA sering terjadi di
Indonesia. Sering kali pengguna media sosial juga akan melihat kelakuan beberapa
pengguna media sosial yang membagikan foto-foto tidak senonoh. Tentu saja hal
itu tidak kita harapkan, tetapi gambar tersebut muncul secara tiba-tiba.
Kasus dalam media sosial lainnya seperti bullying. Bullying sering terjadi pada orang terkenal bahkan teman sendiri.
Pihak pembully akan menggunakan kata-kata menjatuhkan kepada korban. Seorang
pembully biasanya tidak menampakkan identitas pribadinya tetapi memakai nama
samaran. Korban bully akan
mendapatkan dampak gangguan psikis seperti depresi, gangguan kecemasan,
frustasi, dan lain sebagainya. Korban akan menutup diri dari lingkungan dan ada
pula yang memilih bunuh diri.
Walaupun telah ada undang-undang ITE yang menjerat
untuk membatasi penggunaan media sosial, para pengguna masih saja dengan salah
menggunakan media sosial. Ini karena sebaik apapun undang-undang dibuat tidak
akan berpengaruh tanpa adanya kesadaran hukum dari diri sendiri. Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada
awalnya untuk melindungi kepentingan negara, public, dan swasta dari kejahatan
dunia maya (cyber crime). Saat itu
ada 3 pasal mengenai defamation (pencemaran
nama baik), penodaan agama, dan ancaman online.
Tetapi apa yang terjadi? Undang-undang tersebut
digunakan untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan media sosial untuk
menyampaikan keluhan, opini, isi pikiran, hingga menyampaikan kritik pada
pimpinan daerah. Undang-undang ITE tersebut disalahgunakan. Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network
(SAFEnet), sepanjang 2016 ada lebih dari 200 pelaporan ke polisi atas dasar
tuduhan pencemaran nama baik, penodaan agama, dan ancaman yang berbasiskan
undang-undang ITE. SAFEnet juga mencatat munculnya empat pola pemidanaan baru
yaitu aksi balas dendam, barter hukum, membungkam kritik, dan terapi kejut yang
sangat berbeda, jika tidak dapat disebut menyimpang dari tujuan awal ketika UU
ITE dibentuk.
Pada pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik,
berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik”. Sehingga jika ingin menulis atau membagikan sesuatu harus berhati-hati
karena jika ada yang merasa terhina mereka akan mengadukan kita ke polisi, kita
dapat dipenjara dengan ancaman sampai 6 tahun dan denda 1 milyar rupiah. Untuk
membuktikan kita bersalah atau tidak harus berada di pengadilan, sebelum
diputuskan bersalah atau tidak, kita akan ditahan dalam penjara selama 3 bulan.
Undang-Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Undang-undang tersebut disahkan pada
Oktober 2016, itu dinilai tidak jauh beda dengan undang-undang sebelumya.
Karena salah satu hasil revisi menyatakan bahwa pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dapat melakukan
pemblokiran terhadap situs-situs tertentu.
Untuk menghindari risiko hukum tentang penggunaan
ITE kita dapat melakukan hal-hal yang baik diantaranya, menegakkan etika dalam
menggunakan media sosial, melihat kembali kebenaran informasi yang akan
dibagikan ke publik, lebih berhati-hati apabila ingin memposting hal-hal atau
data yang bersifat pribadi, dan sebagainya. Kita dapat menggunakan media sosial
untuk kebaikan. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang yang menjerat
penggunaan internet sepatutnya kita sebagai pengguna harus dapat memahami hal
apa saja yang tidak boleh kita tulis atau bagikan melalui internet. Sudah
saatnya kita menggunakan media sosial dengan bijak dengan berpikir ulang atas
informasi apa untuk dibagikan kepada orang lain. Jika kita bijak menggunakan media
sosial maka kita akan merasakan indahnya menggunakan media sosial.
SUMBER :
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Informasi_dan_Transaksi_Elektronik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar