Sabtu, 02 Desember 2017

Budaya : Membudayakan Penggunaan Media Sosial dengan Bijak



            Penyalahgunaan media sosial memang marak terjadi. Sebuah aplikasi yang seharusnya digunakan  untuk berbagi informasi dan hal-hal yang bermanfaat tetapi malah digunakan untuk tujuan yang negatif. Seseorang yang membagikan informasi atau hal lain maka informasi tersebut akan diterima atau dikonsumsi banyak orang dari berbagai usia, sehingga pengguna media sosial harus bijak dan memikirkan kembali apa yang akan dibagikan. Tetapi kenyataannya, para pengguna media sosial kurang memerhatikan etika dalam menggunakan media sosial. Hal ini telah dibuktikan dengan adanya sebuah fenomena yaitu media sosial digunakan untuk menyebarkan berita-berita palsu, bullying, komentar jahat, tempat memaki atau marah-marah, berbagi hal-hal tidak senonoh, dan lain-lain.
Sebagai contoh, seseorang yang sedang membenci orang lain, maka dia akan melampiaskan kebenciannya di media sosial. Hal tersebut akan memunculkan komentar atau respon bermacam-macam, baik dari pihak yang bersangkutan atau pihak yang tidak memiliki masalah. Mereka akan memberikan komentar buruknya (bagi yang bersangkutan), sehingga mereka akan saling menjelek-jelekkan. Pihak yang dibenci tidak mau dijatuhkan dalam media sosial sehingga pihak yang dibenci tersebut akan memberikan kata-kata kasar dalam komentar pada pengguna akun yang menyinggungnya.
Media sosial yang digunakan atas nama kita sendiri bukan berarti bisa digunakan tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Mengumpat dengan mengeluarkan kata-kata kasar melalui status di media sosial akan mengganggu pengguna lain. Selain itu, menyebarkan isu di media sosial yang menyebabkan konflik SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) juga dilarang hukum. Membagikan gambar atau informasi yang mengandung SARA sering terjadi di Indonesia. Sering kali pengguna media sosial juga akan melihat kelakuan beberapa pengguna media sosial yang membagikan foto-foto tidak senonoh. Tentu saja hal itu tidak kita harapkan, tetapi gambar tersebut muncul secara tiba-tiba.
Kasus dalam media sosial lainnya seperti bullying. Bullying sering terjadi pada orang terkenal bahkan teman sendiri. Pihak pembully akan menggunakan kata-kata menjatuhkan kepada korban. Seorang pembully biasanya tidak menampakkan identitas pribadinya tetapi memakai nama samaran. Korban bully akan mendapatkan dampak gangguan psikis seperti depresi, gangguan kecemasan, frustasi, dan lain sebagainya. Korban akan menutup diri dari lingkungan dan ada pula yang memilih bunuh diri.
Walaupun telah ada undang-undang ITE yang menjerat untuk membatasi penggunaan media sosial, para pengguna masih saja dengan salah menggunakan media sosial. Ini karena sebaik apapun undang-undang dibuat tidak akan berpengaruh tanpa adanya kesadaran hukum dari diri sendiri. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada awalnya untuk melindungi kepentingan negara, public, dan swasta dari kejahatan dunia maya (cyber crime). Saat itu ada 3 pasal mengenai defamation (pencemaran nama baik), penodaan agama, dan ancaman online.
Tetapi apa yang terjadi? Undang-undang tersebut digunakan untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, isi pikiran, hingga menyampaikan kritik pada pimpinan daerah. Undang-undang ITE tersebut disalahgunakan. Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sepanjang 2016 ada lebih dari 200 pelaporan ke polisi atas dasar tuduhan pencemaran nama baik, penodaan agama, dan ancaman yang berbasiskan undang-undang ITE. SAFEnet juga mencatat munculnya empat pola pemidanaan baru yaitu aksi balas dendam, barter hukum, membungkam kritik, dan terapi kejut yang sangat berbeda, jika tidak dapat disebut menyimpang dari tujuan awal ketika UU ITE dibentuk.
Pada pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Sehingga jika ingin menulis atau membagikan sesuatu harus berhati-hati karena jika ada yang merasa terhina mereka akan mengadukan kita ke polisi, kita dapat dipenjara dengan ancaman sampai 6 tahun dan denda 1 milyar rupiah. Untuk membuktikan kita bersalah atau tidak harus berada di pengadilan, sebelum diputuskan bersalah atau tidak, kita akan ditahan dalam penjara selama 3 bulan.
Undang-Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Undang-undang tersebut disahkan pada Oktober 2016, itu dinilai tidak jauh beda dengan undang-undang sebelumya. Karena salah satu hasil revisi menyatakan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dapat melakukan pemblokiran terhadap situs-situs tertentu.
Untuk menghindari risiko hukum tentang penggunaan ITE kita dapat melakukan hal-hal yang baik diantaranya, menegakkan etika dalam menggunakan media sosial, melihat kembali kebenaran informasi yang akan dibagikan ke publik, lebih berhati-hati apabila ingin memposting hal-hal atau data yang bersifat pribadi, dan sebagainya. Kita dapat menggunakan media sosial untuk kebaikan. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang yang menjerat penggunaan internet sepatutnya kita sebagai pengguna harus dapat memahami hal apa saja yang tidak boleh kita tulis atau bagikan melalui internet. Sudah saatnya kita menggunakan media sosial dengan bijak dengan berpikir ulang atas informasi apa untuk dibagikan kepada orang lain. Jika kita bijak menggunakan media sosial maka kita akan merasakan indahnya menggunakan media sosial.

SUMBER :
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Informasi_dan_Transaksi_Elektronik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar